Jatengvox.com – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) kembali menegaskan komitmennya dalam mewujudkan lingkungan perguruan tinggi yang aman, adil, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
Dorongan ini disampaikan langsung oleh Menteri PPPA, Arifah Fauzi, menanggapi hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) tahun 2020 yang menunjukkan fakta mencengangkan — 77 persen kekerasan seksual pernah terjadi di lingkungan kampus.
“Namun, 63 persen di antaranya tidak pernah dilaporkan kepada pihak berwenang,” ungkap Arifah dalam konferensi pers di Jakarta, pada Minggu, 26 Oktober 2025.
Temuan tersebut, kata Arifah, menjadi sinyal bahwa ruang akademik yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, masih menyimpan potensi kekerasan dan ketimpangan yang serius.
Sebagai bentuk tindak lanjut, Arifah mendorong seluruh mahasiswa dan civitas akademika untuk berani melaporkan setiap bentuk kekerasan yang mereka alami atau saksikan.
Ia menegaskan, pelaporan bukan sekadar keberanian individu, tetapi langkah penting dalam menegakkan keadilan dan mencegah korban lain bermunculan.
Langkah ini juga sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Peraturan tersebut mengamanatkan setiap kampus untuk memiliki Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang bertugas memberikan pendampingan serta perlindungan bagi korban.
“Satgas ini harus menjadi garda terdepan dalam menciptakan rasa aman di kampus. Tapi sayangnya, masih banyak korban yang ragu untuk melapor karena takut atau merasa tidak terlindungi,” ujar Arifah.
Meski keberadaan Satgas PPKS sudah diwajibkan, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan.
Banyak kampus yang belum sepenuhnya memahami mekanisme kerja satgas, sementara sebagian mahasiswa masih belum tahu bagaimana melapor atau kepada siapa harus mencari bantuan.
Kementerian PPPA berharap, melalui sosialisasi dan kolaborasi lintas lembaga, kampus bisa menjadi ruang yang benar-benar aman bagi semua pihak—baik mahasiswa, dosen, maupun tenaga pendidik.
“Kita harus bersama-sama membangun budaya kampus yang saling menghormati, menghargai, dan berani bersuara. Melapor itu bukan aib, tapi bentuk keberanian untuk menyelamatkan diri dan orang lain,” tegas Arifah.
Di sisi lain, Anggota Komisi VIII DPR RI, Ansari, menyoroti bentuk kekerasan baru yang marak terjadi di ranah digital.
Menurutnya, kekerasan berbasis gender secara daring — seperti penyebaran foto tanpa izin, pelecehan verbal di media sosial, hingga doxing — menimbulkan trauma yang tak kalah berat bagi korban.
“Komisi VIII memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga ruang digital yang aman bagi semua, terutama perempuan dan anak. Kami akan terus bersinergi dengan Kementerian PPPA, aparat penegak hukum, dan berbagai lembaga terkait agar kasus kekerasan bisa ditangani tuntas sampai ke akar masalah,” kata Ansari.
Editor : Murni A













