Jatengvox.com – Langkah pemerintah bersama DPR RI merevisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendapat perhatian luas.
Salah satu poin penting dalam revisi tersebut adalah penegasan status direksi, komisaris, dan dewan pengawas sebagai penyelenggara negara.
Perubahan ini diharapkan mampu memperkuat peran strategis negara dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas publik di tubuh BUMN.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menjelaskan bahwa revisi ini merupakan bentuk koreksi terhadap praktik sebelumnya yang menempatkan pejabat BUMN sebagai “pejabat non-negara”.
“Dengan status baru ini, semua pejabat BUMN wajib tunduk pada mekanisme pengawasan negara, termasuk audit oleh BPK dan pemeriksaan oleh KPK,” ujar Rieke di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Rieke menegaskan, revisi UU BUMN ini mengembalikan fungsi dan arah BUMN sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurutnya, perubahan ini bukan sekadar soal jabatan, melainkan bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga aset publik agar benar-benar dikelola untuk kepentingan masyarakat.
“Ada 11 perubahan substansi dalam revisi ini. Namun yang paling penting, kami menghapus pasal yang menyebutkan direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas bukan penyelenggara negara,” tutur politikus PDI Perjuangan itu.
Ia menambahkan, seluruh fraksi di DPR menyepakati bahwa BUMN harus kembali menjadi perpanjangan tangan negara, bukan sekadar entitas bisnis yang berdiri di antara kepentingan publik dan politik.
Pandangan senada datang dari Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Menurutnya, langkah ini merupakan kemajuan besar dalam membangun tata kelola BUMN yang profesional dan terbuka.
“Negara modern itu seperti akuarium—semuanya harus terlihat jelas. Tidak boleh ada lagi status direksi atau komisaris yang berada di wilayah abu-abu,” ujarnya.
Pangi menilai, dengan status pejabat negara, setiap direksi dan komisaris akan memiliki tanggung jawab hukum serta etika yang lebih kuat.
Ini juga akan mempermudah lembaga pengawas seperti KPK dan BPK dalam melakukan audit dan pemeriksaan bila terjadi dugaan penyimpangan.
Selain soal status hukum, Pangi menyoroti persoalan klasik dalam tubuh BUMN, yakni rangkap jabatan pejabat publik.
Ia menilai praktik ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mengaburkan fokus kerja.
“Kalau alasan rangkap jabatan karena gaji wakil menteri kecil, ya tambahkan saja gajinya. Jangan dijadikan komisaris. Negara tidak bisa dikelola seperti itu,” tegasnya.
Ia juga mendorong pemerintahan Presiden Prabowo untuk meniru model pengelolaan BUMN yang profesional seperti Temasek Holdings di Singapura, di mana negara berperan sebagai pemegang saham strategis namun tetap menjunjung tinggi profesionalitas dan efisiensi.
Pangi menekankan bahwa ukuran keberhasilan BUMN tidak hanya dilihat dari sisi keuntungan finansial, melainkan dari sejauh mana perusahaan-perusahaan milik negara berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.
“BUMN tidak boleh terus-menerus rugi, tapi juga jangan hanya mengejar laba. Esensi keberadaannya adalah melayani dan memberdayakan rakyat,” ujarnya.
Editor : Murni A