Jatengvox.com – Ancaman radikalisasi yang menyasar anak kini tak lagi lewat ruang fisik. Kanal digital—dari media sosial hingga game online—menjadi pintu masuk baru bagi jaringan terorisme.
Kondisi inilah yang membuat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan perlunya penguatan sistem dukungan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Ketua KPAI, Margaret Aliyatul Maimunah, menegaskan bahwa keluarga adalah garis pertahanan pertama.
Tanpa pendampingan yang kuat, anak akan lebih mudah terpapar propaganda ekstrem yang beredar di dunia maya.
“Keluarga adalah sistem pendukung utama. Sekolah dan masyarakat juga harus hadir. Literasi digital anak perlu diperkuat agar mereka tidak mudah terjebak propaganda ekstrem,” ujar Margaret dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Margaret memastikan bahwa setiap proses penanganan terhadap anak yang terlibat dalam kasus rekrutmen terorisme dilakukan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012).
Ia menekankan prinsip penting: anak tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku, melainkan korban yang harus dilindungi.
Karena itu, mekanisme diversi, keadilan restoratif, hingga pendampingan psikologis dan hukum menjadi bagian tak terpisahkan.
“Kami memastikan bahwa setiap anak yang terlibat tidak diperlakukan sebagai pelaku, tetapi sebagai korban. Pendampingan psikologis dan hukum menjadi hal yang wajib,” jelasnya.
Selain itu, upaya rehabilitasi juga dipandang sebagai langkah penting untuk memastikan anak kembali ke lingkungan aman tanpa membawa beban stigma.
Dalam kesempatan yang sama, Polri melalui Densus 88 Antiteror membeberkan perkembangan terbaru terkait praktik perekrutan anak di dunia digital.
Hingga November 2025, sebanyak 110 anak berusia 10–18 tahun di 26 provinsi ditemukan telah terpapar ajakan bergabung dengan jaringan terorisme.
Menurut Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, rekrutmen biasanya dimulai dari ruang publik digital.
“Platform digital menjadi pintu masuk utama. Mereka memulai dari media sosial dan game online, lalu menarik korban ke komunikasi pribadi. Di situ kedekatan emosional dibangun sebelum ideologi ditanamkan,” jelas Trunoyudo.
Polri juga mengamankan lima tersangka dewasa yang diduga menjadi perekrut dan pengendali jaringan tersebut. Mereka adalah FB alias YT (47) asal Medan, LN (23) asal Banggai, PB alias BNS (37) asal Sleman, NSPO (18) asal Tegal, serta JJS alias BS (19) asal Agam. Dua di antara mereka ditangkap pada 17 November 2025 dalam operasi gabungan di Sumatera Barat dan Jawa Tengah.
Margaret mengapresiasi langkah cepat Polri dan Densus 88 yang berhasil mengungkap pola perekrutan digital tersebut.
Ia menilai bahwa keberhasilan ini menjadi bukti hadirnya negara dalam menjaga anak-anak dari ancaman ideologi kekerasan.
“Upaya ini bukan hanya penegakan hukum, tetapi penyelamatan anak-anak Indonesia dari eksploitasi jaringan terorisme,” tutur Margaret.
Di sisi lain, KPAI juga mengingatkan bahwa kerja-kerja pengawasan digital tidak bisa hanya mengandalkan aparat.
Orang tua perlu memantau aktivitas daring anak, sementara sekolah harus aktif memberikan edukasi literasi digital yang relevan dengan dinamika zaman.
Editor : Hendra













