Jatengvox.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menilai bahwa penerapan teknologi dalam pelaksanaan Pemilu mendatang masih menghadapi sejumlah tantangan.
Hal itu diungkapkan oleh Komisioner KPU RI, Iffa Rosita, dalam diskusi publik bertajuk “Tantangan Digitalisasi Pemilu dan Bonus Demografi Menuju Indonesia Emas” yang digelar di Kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Koalisi Pewarta Pemilu dan Demokrasi (KPP-Dem) bekerja sama dengan KPU.
Salah satu fokus utamanya adalah bagaimana mengakomodasi suara pemilih pemula, yang jumlahnya semakin besar dari waktu ke waktu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, penduduk berusia 15–47 tahun mencapai sekitar 46,3 persen dari total populasi Indonesia—sebuah potensi besar yang tidak bisa diabaikan dalam proses demokrasi.
Menurut Iffa, jajak pendapat KPU menunjukkan bahwa generasi muda kini menginginkan pemilu yang lebih praktis dan modern.
“Mereka mulai menuntut sistem e-voting, sudah merasa tidak zaman lagi menggunakan surat suara dan datang ke TPS. Ada yang bahkan berharap bisa memilih dari rumah,” ungkapnya.
Meski keinginan untuk beralih ke sistem digital cukup tinggi, Iffa menegaskan bahwa regulasi menjadi tantangan utama.
Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini belum mengatur secara eksplisit penggunaan teknologi digital dalam proses pemungutan suara.
“Sebenarnya, yang pertama harus kita siapkan adalah payung hukumnya. Sebagai penyelenggara yang wajib memberikan kepastian hukum, KPU tentu tidak bisa melangkah tanpa dasar yang jelas,” ujarnya.
Iffa menambahkan bahwa situasi ini berbeda dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang dalam peraturannya sudah membuka ruang bagi penggunaan teknologi.
Namun, penerapan sistem digital dalam Pilkada tetap bersifat terbatas dan bergantung pada kesiapan masing-masing daerah.
“Kalau bicara pemerintah daerah, berarti menyangkut infrastruktur dan kesiapan sumber daya manusia. Pemerintah daerah juga harus bisa meningkatkan literasi digital masyarakat, agar teknologi tidak malah menimbulkan kebingungan atau ketimpangan,” jelasnya.
Pandangan senada disampaikan Wijaya Kusumawardhana, Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi).
Ia menilai bahwa setiap langkah menuju digitalisasi pemilu harus diiringi dengan regulasi yang kuat dan komprehensif.
“Pentingnya payung hukum itu tidak bisa diabaikan. Dengan regulasi yang jelas, kebijakan apa pun yang dijalankan pemerintah akan memiliki arah dan kepastian,” tutur Wijaya.
Kemkomdigi, lanjutnya, saat ini tengah menyusun sejumlah peraturan terkait pemanfaatan teknologi digital, terutama untuk memastikan bahwa peran teknologi tetap sebagai alat bantu manusia, bukan pengganti sepenuhnya.
“Fokusnya bukan menjadikan teknologi sebagai pemeran utama, tapi bagaimana ia bisa membantu meningkatkan efisiensi dan transparansi proses,” katanya.
Editor : Murni A













