Jatengvox.com – Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Achmad Ru’yat, menegaskan agar pemerintah tidak perlu menambah lembaga baru terkait sertifikasi higienis dan sanitasi pangan.
Menurutnya, keberadaan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah cukup karena memiliki standar yang diakui secara internasional.
Pernyataan tersebut disampaikan Ru’yat dalam rapat kerja Komisi IX bersama Kementerian Kesehatan, BKKBN, Badan Gizi Nasional (BGN), dan BPOM di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Ia mengaku terkejut saat mendengar usulan Kepala BGN mengenai pembentukan lembaga independen untuk sertifikasi pangan.
“Indonesia sudah punya BPOM yang kredibel. Jadi, lebih baik optimalkan lembaga yang ada daripada bikin lembaga baru,” tegasnya.
Ru’yat juga menyoroti lemahnya tata kelola program gizi nasional. Data mencatat, ada 71 kasus keracunan massal dengan lebih dari 6.400 orang terdampak.
Ia menilai lemahnya koordinasi lintas kementerian menjadi salah satu penyebab masalah ini.
“Koordinasi hanya berbasis SK Deputi BGN, tanpa landasan Perpres. Ini yang harus dibenahi agar program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto berjalan sukses,” ujar politisi asal Jawa Barat tersebut.
Menurutnya, payung hukum yang jelas dalam bentuk Perpres akan memperkuat koordinasi antar kementerian, sehingga tidak terjadi tumpang tindih maupun kekacauan di lapangan.
Selain itu, Ru’yat menyinggung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu prioritas pemerintah.
Ia menekankan agar program ini dijalankan secara efektif dan tidak dipolitisasi.
Ia menyarankan agar pendataan siswa penerima MBG dilakukan langsung oleh guru di sekolah. Dengan cara ini, kata Ru’yat, program akan lebih tepat sasaran dan diterima dengan baik oleh masyarakat.
“Kalau dipaksakan, justru bisa menimbulkan penolakan. Melibatkan guru akan membuat program lebih efisien,” jelasnya.
Lebih jauh, Ru’yat menyoroti menu MBG yang dinilainya masih belum sesuai standar gizi.
Saat ini, hanya 17 persen menu yang memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) energi, sementara 45 persen justru masih mengandung makanan ultra proses.
Ia menilai MBG tidak cukup hanya sebatas distribusi makanan massal. Program ini harus diintegrasikan dengan sistem kesehatan dan pendidikan, sekaligus dibarengi dengan edukasi gizi.
“Anak-anak perlu paham bahwa MBG itu untuk kesehatan, bukan sekadar mengurangi uang jajan. Kalau tidak ada edukasi, tujuan besar program ini tidak akan tercapai,” tandas Ru’yat.
Editor : Murni A