Jatengvox.com – Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang kembali menunjukkan tren kenaikan membuat Ombudsman RI menegaskan perlunya terobosan serius dalam pengawasan perlintasan orang.
Menurut lembaga pengawas pelayanan publik tersebut, langkah paling mendesak adalah membangun sistem pengawasan yang benar-benar terintegrasi antarinstansi, mulai dari imigrasi hingga lembaga pendukung perlindungan WNI.
Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih, menilai kenaikan jumlah korban merupakan alarm bahwa deteksi dini di lapangan belum berjalan optimal.
“Integrasi sistem pengawasan adalah fondasi agar dapat mendeteksi dan mencegah korban TPPO sejak awal,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Ia menekankan bahwa banyaknya celah di titik perlintasan membuat praktik pengiriman pekerja migran secara nonprosedural masih marak.
Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, mengurai persoalan utama yang hingga kini belum terselesaikan: data penting di masing-masing instansi belum saling terkoneksi.
Sistem yang seharusnya menjadi rujukan bersama—mulai dari SIMKIM, SISKOP2MI, SIPMI, data Dukcapil, hingga aplikasi Peduli WNI milik Kemenlu—masih berjalan sendiri-sendiri.
Kondisi ini menyebabkan petugas sulit melakukan verifikasi cepat terhadap calon pekerja migran yang melintas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI).
“Tanpa integrasi, koordinasi juga lemah. Pengawasan masih sektoral sehingga pelaku bisa memanfaatkan celahnya,” jelas Johanes.
Ia juga menyoroti tidak adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) maupun SOP baku untuk pengawasan perlintasan orang.
Selain memperlambat deteksi, ketidakseragaman ini berdampak pada perlindungan hak dasar calon pekerja migran yang tidak merata di setiap daerah.
Ombudsman menemukan bahwa kapasitas dan pemahaman petugas imigrasi mengenai penanganan TPPO belum merata di semua wilayah.
Di daerah tertentu, aparat sudah dibekali pengetahuan dan sistem pendukung yang memadai, namun di daerah lain masih sangat terbatas.
Akibatnya, program pencegahan TPPO yang melibatkan pemerintah desa menjadi tidak sinkron.
Beberapa desa sudah menjalankan edukasi dan pendataan, sementara yang lain belum memiliki pedoman yang jelas.
Fragmentasi ini membuat upaya pencegahan secara nasional berjalan kurang komprehensif.
Johanes menegaskan, “Saat setiap lembaga berjalan sendiri-sendiri, pelaku TPPO memanfaatkan celah tersebut. Jika sistem terhubung, keberangkatan nonprosedural bisa dideteksi lebih cepat.”
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ombudsman RI mendorong percepatan implementasi rekomendasi hasil kajian mereka.
Hal paling penting adalah memastikan konektivitas data antarlembaga berjalan secara real time sehingga informasi mengenai identitas, dokumen perjalanan, hingga rekam jejak calon pekerja migran dapat dipantau bersama.
Integrasi tersebut diharapkan tidak hanya memudahkan pencegahan TPPO, tetapi juga meningkatkan efektivitas kebijakan perlindungan WNI secara keseluruhan.
Editor : Hendra













