Jatengvox.com – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyoroti masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa upaya perlindungan tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan pusat, melainkan harus dimulai dari sistem yang kuat di tingkat daerah.
Menurut Arifah, banyak kasus kekerasan yang sebenarnya bisa dicegah bila daerah memiliki mekanisme perlindungan yang solid dan terintegrasi.
Pemerintah daerah, kata dia, berperan strategis dalam memastikan setiap laporan kekerasan ditangani dengan cepat dan tepat.
“Ada tiga fokus utama untuk memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak, yaitu pencegahan kekerasan, peningkatan kualitas layanan, dan percepatan kolaborasi lintas sektor yang lebih terpadu. Kebijakan yang berpihak pada perempuan dan anak tidak cukup hanya di atas kertas,” ujar Menteri Arifah dalam keterangannya, Selasa (11/11/2025).
Dalam paparannya, Arifah mengungkapkan bahwa Provinsi Sumatra Utara menjadi salah satu wilayah dengan angka kekerasan yang cukup tinggi.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 1 Januari hingga 4 November 2025 tercatat 1.363 kasus kekerasan di provinsi tersebut.
Ia menilai, meski angka ini menunjukkan jumlah kasus yang signifikan, hal itu juga dapat menjadi indikator meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor.
“Peningkatan angka ini mencerminkan bahwa korban mulai berani mencari bantuan, dan layanan perlindungan di daerah semakin mudah diakses,” jelasnya.
Arifah menambahkan, setiap laporan yang masuk menjadi dasar penting bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem perlindungan, terutama dalam hal pendampingan psikologis, hukum, hingga pemulihan sosial bagi korban.
Wakil Gubernur Sumatra Utara, Surya, menegaskan bahwa isu perempuan dan anak merupakan bagian dari 17 prioritas pembangunan daerah.
Hal tersebut telah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
“Korban kekerasan di Sumatra Utara, 72 persennya adalah perempuan dan 22 persen laki-laki. Ini menjadi perhatian serius kami. Karena itu, kami terus memperkuat perlindungan melalui berbagai regulasi seperti Perda Perlindungan Anak (2014), Perda Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan (2019), serta Perda Pengarusutamaan Gender (2023),” jelas Surya.
Menurutnya, sinergi antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam menekan angka kekerasan.
Program edukasi, pelibatan tokoh masyarakat, serta peningkatan kapasitas lembaga layanan menjadi fokus kerja pemerintah daerah ke depan.
Menteri Arifah menilai, kolaborasi lintas sektor perlu diperkuat agar sistem perlindungan tidak berjalan sendiri-sendiri.
Ia berharap semua elemen—mulai dari pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, hingga media—dapat menjadi bagian dari rantai perlindungan bagi perempuan dan anak.
“Ketika semua pihak terlibat, kita tidak hanya bicara tentang reaksi terhadap kekerasan, tapi juga tentang pencegahannya,” ujarnya.
Editor : Murni A













