Jatengvox.com – Upaya pengendalian tuberkulosis (TBC) di Indonesia terus menunjukkan hasil menggembirakan. Berdasarkan data Sistem Informasi TBC (SITB) hingga Oktober 2025, tercatat sebanyak 621 ribu kasus berhasil ditemukan — setara dengan 57 persen dari estimasi nasional.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 562 ribu pasien (90 persen) telah menjalani pengobatan, menandakan peningkatan signifikan dalam akses layanan kesehatan dan efektivitas strategi nasional penanganan TBC. Capaian ini sekaligus mencerminkan komitmen pemerintah dalam memperluas jangkauan diagnosis serta pengobatan hingga ke daerah terpencil.
Selain penemuan kasus aktif, Program Terapi Pencegahan TBC (TPT) juga mencatat lonjakan yang cukup signifikan. Hingga September 2025, lebih dari 143 ribu orang telah menjalani TPT — hampir dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Program ini menyasar individu dengan risiko tinggi tertular TBC, seperti keluarga pasien dan kelompok rentan lainnya. Tujuannya, agar penularan dapat diputus sebelum penyakit berkembang.
Wakil Menteri Kesehatan Benjamin Paulus Octavianus menuturkan bahwa pemerintah kini memperkuat sistem pemantauan berbasis digital di lebih dari 7.000 puskesmas di seluruh Indonesia. “Kalau angka kasus yang ditemukan naik, itu bukan berarti penyakitnya bertambah banyak. Justru artinya kita bekerja lebih keras menemukan pasien yang sebelumnya tidak terdiagnosis,” ujarnya dalam Temu Media di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Menurutnya, peningkatan deteksi dini menjadi langkah penting dalam menekan penularan. “Selama kumannya masih ada dan tidak ditemukan, penularan akan terus terjadi. Karena itu, target kami tahun depan justru menemukan lebih banyak lagi — bahkan bisa sampai satu setengah juta kasus,” tambahnya.
Meski capaian membaik, penanganan TBC Resistan Obat (TBC RO) masih menjadi tantangan utama. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan bahwa tingkat keberhasilan pengobatan TBC RO baru mencapai 59 persen, angka yang dinilainya masih perlu ditingkatkan.
Menurutnya, tantangan terbesar bukan hanya pada obat, tetapi juga pada kesiapan tenaga kesehatan di lapangan. “Keberhasilan pengendalian TBC RO sangat ditentukan oleh kemampuan dokter, perawat, dan tenaga farmasi dalam mendiagnosis, mengobati, dan mendampingi pasien hingga akhir terapi,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan bagi tenaga medis, serta dukungan logistik dan sistem rujukan yang lebih efisien agar pasien tidak terputus di tengah pengobatan.
Editor : Murni A