Jatengvox.com – Upaya menciptakan sekolah sebagai ruang aman bagi anak kembali ditekankan pemerintah.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengingatkan bahwa setiap anak memiliki martabat yang sama dan tidak boleh diperlakukan secara berbeda.
Baginya, sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak merasa dihargai, bukan tempat yang membuat mereka takut atau tertekan.
Arifah menegaskan bahwa anak-anak yang sedang menghadapi masalah tidak boleh dijauhi atau menjadi bahan ejekan.
Sebaliknya, lingkungan sekolah harus hadir sebagai ruang yang merangkul dan membantu mereka menemukan solusi.
“Sekolah akan nyaman kalau semua saling membantu dan menghargai, sehingga bebas dari perundungan,” ujarnya dalam keterangan pada Minggu (23/11/2025).
Konteks ini semakin relevan di tengah meningkatnya kasus perundungan yang sering kali bermula dari hal sederhana—gestur, ucapan, atau candaan berlebihan yang kemudian berkembang menjadi kekerasan terselubung.
Selain mengajak siswa saling mendukung, Arifah juga menyoroti peran guru sebagai sosok kunci dalam membentuk karakter generasi muda.
Ia menyebut, menciptakan suasana sekolah yang damai hanya mungkin dilakukan bila ada penghormatan terhadap guru.
“Menghormati guru berarti menghargai proses pendidikan itu sendiri. Tanpa mereka, kita tidak akan menjadi apa-apa,” tuturnya.
Pesan ini mengingatkan kembali pada nilai-nilai dasar pendidikan yang kadang tergerus di tengah perubahan sosial dan tekanan akademik.
Di banyak sekolah, relasi yang harmonis antara guru dan siswa terbukti mampu menurunkan risiko konflik dan meningkatkan kenyamanan belajar.
Dari sisi legislatif, Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, menambahkan bahwa pencegahan kekerasan terhadap anak tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Menurutnya, banyak kasus yang terjadi di lingkungan pendidikan justru berakar dari dinamika di rumah atau komunitas sosial anak.
“Sering kali pelaku kekerasan di sekolah adalah korban kekerasan di rumah,” jelasnya. Pola ini menunjukkan bahwa persoalan perundungan adalah fenomena berlapis, yang perlu ditangani bukan hanya dari satu pintu.
Hetifah menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Ini termasuk kewaspadaan terhadap perilaku dan interaksi anak, baik di dunia nyata maupun digital.
Dalam pernyataannya, Hetifah mengingatkan pentingnya perhatian orang tua dan guru terhadap aktivitas anak, terutama di era digital yang membuat interaksi semakin luas dan sulit dipantau.
Pergaulan, gim online, hingga konten internet menjadi faktor yang sangat memengaruhi perkembangan perilaku anak.
“Setiap perubahan perilaku harus dikenali. Kita tidak bisa lagi bersikap masa bodoh,” ujarnya.
Ia menambahkan, memahami dengan siapa anak berkomunikasi, apa yang mereka mainkan, dan siapa teman dekatnya sangat penting untuk mencegah gejala perundungan sejak dini.
Kewaspadaan ini bukan berarti membatasi anak secara berlebihan, melainkan membangun komunikasi yang hangat dan terbuka—hal yang kadang terlupa dalam kesibukan orang tua sehari-hari.
Editor : Murni A













