Desa, seringkali dianggap sebagai unit pemerintahan terendah, sesungguhnya adalah garda terdepan pembangunan. Di sanalah denyut nadi kehidupan masyarakat berdetak, dan di sanalah potensi sumber daya manusia dan alam menunggu untuk dioptimalkan. Keberhasilan pembangunan di tingkat nasional, pada akhirnya, sangat bergantung pada seberapa efektif desa-desa kita mampu bertransformasi.
Ambil contoh Desa Penawangan di Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang. Beberapa tahun lalu, sebagian besar wilayah desa ini masih dicap sebagai kawasan kumuh, dengan keterbatasan infrastruktur dasar seperti sanitasi, drainase, dan akses jalan yang memadai. Namun, melalui intervensi Program Dana Alokasi Khusus (DAK) Integrasi pada tahun 2021–2022, wajah Penawangan berubah drastis. Kawasan seluas 3,87 hektar berhasil ditata ulang dengan pembangunan infrastruktur permukiman, fasilitas publik, dan ruang terbuka hijau. Ini bukan sekadar perbaikan fisik; ini adalah sebuah transformasi yang mengangkat status desa dari kumuh menjadi lebih maju.
Lalu, apa rahasia di balik keberhasilan ini? Apakah hanya karena ketersediaan dana dari pemerintah pusat? Jawabannya adalah tidak. Dana dan kebijakan dari atas hanyalah instrumen. Kunci sebenarnya terletak pada kepemimpinan dan tata kelola pemerintah desa yang proaktif dan adaptif.
Banyak program pembangunan nasional, termasuk DAK Integrasi, dirancang dengan tujuan mulia untuk mengatasi masalah kompleks seperti permukiman kumuh. Namun, efektivitasnya seringkali terhambat jika tidak ada “sentuhan emas” di tingkat lokal. Di sinilah pemerintah desa memainkan peran tak tergantikan. Mereka bukan sekadar perpanjangan tangan administratif; mereka adalah aktor kunci yang mampu menerjemahkan visi besar menjadi aksi nyata yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Pemerintah Desa Penawangan, misalnya, menunjukkan bagaimana peran multifaset ini bekerja. Mereka bertindak sebagai fasilitator yang aktif melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan, mulai dari perencanaan hingga pengawasan. Konsep “jawi” yang diusung dalam penataan kawasan, misalnya, lahir dari kesepakatan bersama masyarakat, bukan sekadar instruksi dari atas. Ini adalah bukti nyata partisipasi masyarakat yang tinggi, sebuah prasyarat penting bagi keberlanjutan program.
Lebih dari itu, pemerintah desa juga berperan sebagai koordinator yang menjembatani berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah kabupaten (seperti Dinas Pekerjaan Umum dan BPN) hingga masyarakat itu sendiri. Mereka adalah
motivator yang membangun kesadaran dan semangat gotong royong, serta mobilisator yang menggerakkan sumber daya manusia dan sosial desa untuk berkontribusi. Bahkan, sebagai regulator dan katalisator, mereka mampu menciptakan norma lokal yang mendukung keberlanjutan dan menarik kolaborasi dari pihak eksternal.
Transformasi di Desa Penawangan adalah cerminan dari sinergi vertikal (pusat-daerah-desa) dan horizontal (antar-sektor) yang efektif. Dari jalan yang mulus, sanitasi yang layak, hingga peningkatan kualitas hunian, semua ini adalah hasil dari pengelolaan program yang akuntabel dan transparan oleh pemerintah desa. Peningkatan nilai tanah dan perubahan perilaku hidup sehat warga menjadi indikator nyata bahwa transformasi ini melampaui sekadar perbaikan fisik, menuju peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Kisah Desa Penawangan memberikan pelajaran berharga bagi pembangunan nasional. Ini menegaskan bahwa investasi pada kapasitas dan kepemimpinan pemerintah desa adalah investasi yang paling strategis. Ketika pemerintah desa diberdayakan, memiliki tata kelola yang baik, dan mampu merangkul partisipasi masyarakat, program-program pembangunan berskala besar tidak hanya akan mencapai target fisik, tetapi juga akan memicu transformasi sosial yang mendalam dan berkelanjutan.
Membangun Indonesia yang maju dan sejahtera harus dimulai dari desa. Dan kunci untuk membuka potensi desa-desa kita ada di tangan pemerintah desa yang proaktif, partisipatif, dan berdaya. Mari kita terus dukung dan perkuat peran tak tergantikan ini.
Penulis : Anang Maulana, Mahasiswa Ilmu Politik UIN Walisongo Semarang