Jatengvox.com – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak boleh ditolerir, terlebih jika pelakunya adalah seorang pejabat negara.
Menurut Anggota Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, KDRT merupakan persoalan struktural sekaligus personal yang menuntut penanganan hukum, sosial, hingga psikologis secara menyeluruh.
“Lemahnya pengawasan institusi dan toleransi masyarakat terhadap kekerasan domestik kerap memperkuat ruang impunitas. Ini yang tidak boleh lagi dibiarkan,” ujar Yuni dalam keterangan di Jakarta, pada Kamis, 18 September 2025.
Yuni menekankan, kasus KDRT yang melibatkan pejabat negara membuktikan bahwa kekerasan tidak mengenal batas status sosial.
“Situasi ekonomi yang mapan sama sekali tidak menjamin adanya relasi emosional yang sehat. Kemampuan mengelola emosi, rasa empati, dan komunikasi dalam rumah tangga jauh lebih menentukan,” tegasnya.
Menurutnya, budaya patriarki masih kuat memengaruhi perilaku sebagian laki-laki yang merasa superior.
Pandangan bahwa urusan rumah tangga adalah ranah privat sering kali membuat pelaku merasa kebal terhadap sanksi sosial maupun hukum.
“Bahkan ketika mereka adalah pejabat publik yang seharusnya memberi teladan,” kata Yuni.
Pernyataan ini muncul setelah seorang pejabat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) berinisial M diduga melakukan tindak kekerasan terhadap istrinya di kantor BPJPH Jakarta Timur.
Peristiwa yang terjadi pada 17 Agustus 2025 siang itu diduga dilakukan di depan sejumlah pegawai usai upacara bendera.
Kasus ini sontak menjadi perhatian publik, mengingat pejabat negara seharusnya menjaga wibawa dan memberi contoh baik, bukan justru menunjukkan perilaku yang mencederai martabat perempuan.
Ombudsman Republik Indonesia juga ikut menyoroti kasus tersebut. Anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro, menyayangkan tindakan kekerasan itu dan menegaskan bahwa dugaan KDRT sangat mungkin dibawa ke ranah pidana.
“Langkah selanjutnya bergantung pada korban, apakah akan membuat laporan kepolisian atau tidak. Namun secara hukum, kasus ini jelas bisa diproses,” ujar Johanes.
Kasus dugaan KDRT oleh pejabat BPJPH membuka kembali perbincangan tentang pentingnya ketegasan negara dan masyarakat dalam menolak segala bentuk kekerasan.
Tidak hanya penegakan hukum, namun juga dukungan psikologis dan sosial bagi korban menjadi krusial.
KDRT bukan sekadar persoalan pribadi dalam rumah tangga, melainkan persoalan publik yang menyangkut perlindungan hak asasi manusia.
Ketika pelakunya seorang pejabat, publik punya alasan lebih kuat untuk menuntut keadilan—sebab pejabat negara seharusnya menjadi teladan, bukan justru pelanggar.
Editor : Murni A