Jatengvox.com – Anggota Komisi I DPR RI, Nico Siahaan, menyoroti adanya ketidakadilan antara media konvensional seperti televisi dan radio dengan media digital yang tumbuh tanpa batas.
Menurutnya, lembaga penyiaran diatur secara ketat, sementara platform digital beroperasi tanpa kewajiban serupa.
“Ada ketidakadilan karena yang satu diatur ketat (TV dan radio), dan yang satunya tidak,” ujar Nico dalam Diskusi Publik bertema “Platform Digital dan Penyiaran: Peluang atau Ancaman” di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP Universitas Indonesia (UI), Depok, Jumat (7/11/2025).
Nico menilai, ketimpangan ini bukan hanya soal regulasi, tapi juga berdampak ekonomi. Tanpa aturan jelas, potensi pendapatan dari iklan digital bisa lari ke luar negeri. “Ada capital outflow yang ke luar negeri, dan ini tidak beredar di dalam negeri,” tambahnya.
Selain aspek ekonomi, Nico juga menyoroti minimnya tanggung jawab terhadap konten yang beredar di media digital. Ia mengingatkan bahwa banyak konten yang tidak memenuhi standar etika, kebenaran informasi, maupun nilai-nilai Pancasila.
“Belum adanya regulasi membuat konten digital tidak memiliki jaminan perlindungan dan tanggung jawab,” jelasnya.
Pandangan tersebut sejalan dengan kekhawatiran Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, yang menilai perlunya pengaturan untuk menjaga masyarakat dari dampak negatif konten digital.
“Kalau bicara peluang atau ancaman, peluangnya pasti besar. Tapi ancamannya ini yang harus kita atasi,” ujar Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat itu.
Menurutnya, regulasi bukan untuk membatasi kreativitas, melainkan untuk melindungi publik dari penyebaran konten yang menyesatkan atau merugikan.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah bersama Komisioner Aliyah menegaskan pentingnya kehadiran aturan yang mampu melindungi masyarakat, terutama generasi muda.
Mereka menilai, anak muda saat ini menjadi kelompok paling rentan terhadap paparan konten digital tanpa filter.
“Sayangnya, KPI tidak bisa mengawasi dan menindak tayangan atau konten di platform digital,” ujar Aliyah.
Pernyataan ini menegaskan adanya kekosongan hukum yang perlu segera dijembatani agar sistem pengawasan media di Indonesia bisa berjalan seimbang antara dunia penyiaran dan digital.
Dari sisi industri, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Gilang Iskandar, menyampaikan pandangan berbeda.
Jika pengaturan platform digital sulit dilakukan, maka aturan penyiaran televisi sebaiknya dilonggarkan agar industri konvensional bisa tetap bersaing.
Ia mencontohkan perlunya peninjauan ulang pada regulasi terkait konten lokal dan iklan rokok, yang saat ini membatasi ruang gerak televisi swasta.
“Selain itu, perlu ada perlindungan hukum atas konten televisi yang dimonetisasi, serta dukungan pemerintah melalui government spending,” ujarnya.
Editor : Murni A













