Lebih Dari Sekedar Komoditas, Tembakau Adalah Cerita Tentang Kerja Keras, Ketidakpastian, Dan Harapan Yang Diwariskan Di Desa
Bagi petani desa, tembakau bukan sekadar tanaman, melainkan sumber kehidupan. Namun, nasib mereka sangat bergantung pada dua hal yang sulit dikendalikan, yakni cuaca dan harga pasar.
“Kalau cuaca bagus, kualitas tembakau juga bagus. Tapi kalau cuaca jelek, semua kerja keras jadi sia-sia,” begitu ungkap bapak Nur Fuad sebagai seorang petani. Kalimat sederhana itu mencerminkan realitas sehari-hari di ladang.
Dari Tanam Sendiri ke Sistem Tebas
Hingga beberapa tahun lalu, petani masih menanam tembakau sendiri. Semua dikerjakan dengan tangan mereka: menyiapkan bibit, merawat, hingga mengeringkan. Namun sejak 2023, banyak petani beralih ke sistem tebas, di mana pembeli atau pemilik gudang membeli tembakau langsung dari ladang sebelum panen.
Dengan cara ini, petani mendapat uang lebih cepat. Tapi sisi pahitnya, mereka semakin kehilangan kendali atas harga. Semua ditentukan pembeli besar, sementara petani hanya bisa menerima.
Harga Turun, Beban Tetap
Ironi lain yang dialami petani adalah ketika harga tembakau jatuh. Meski penjualan rendah, ongkos tenaga kerja tetap harus dibayar penuh.
“Harga boleh turun, tapi ongkos pekerja tidak ikut turun,” keluh bapak Nur Fuad sebagai seorang petani.
Situasi ini membuat banyak petani tertekan. Tak sedikit yang akhirnya meninggalkan tembakau dan beralih menanam tanaman lain yang dianggap lebih menjanjikan, seperti jagung atau padi.
Harapan pada Teknologi dan Dukungan
Meski kondisi sulit, para petani tidak berhenti berharap. Salah satu ide yang sering muncul adalah penggunaan rumah plastik atau greenhouse. Dengan teknologi itu, tanaman bisa lebih terlindungi dari cuaca ekstrem.
Namun, biaya pembangunan greenhouse masih terlalu mahal bagi petani kecil. Karena itu, mereka sangat menantikan dukungan politik dari pemerintah berupa subsidi dan akses teknologi modern. Selama ini, subsidi lebih banyak diberikan untuk padi dan jagung, sementara tembakau kerap dipinggirkan.
Padahal, tembakau adalah sektor padat karya. Dari menanam, merawat, hingga mengeringkan, semuanya menyerap banyak tenaga kerja. Seharusnya, sektor ini juga mendapat perhatian serius.
Karakteristik Lokal, Kekuatan yang Tersisa
Meski lahan terbatas, tembakau lokal masih memiliki keunggulan: karakteristik khas yang tidak bisa digantikan daerah lain. Setiap desa menghasilkan tembakau dengan cita rasa berbeda.
Ada yang cocok jadi bahan utama, ada pula yang lebih pas sebagai pelengkap. “Ada tembakau nasi, ada tembakau lauk,” ujar bapak Nur Fuad sebagai petani. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa keunikan lokal bisa menjadi daya tawar penting di pasar.
Optimisme yang Rapuh
Optimisme petani memang rapuh. Cuaca buruk, harga rendah, hingga kebijakan yang tak berpihak bisa meruntuhkan harapan. Tapi semangat mereka belum padam.
“Kalau dukungan ada, kalau cuaca stabil, insyaallah tembakau bisa jadi andalan lagi,” kata bapak Nur Fuad sebagai petani dengan penuh keyakinan.
Di balik daun tembakau, tersimpan cerita tentang kerja keras dan harapan yang diwariskan di desa. Petani tidak meminta belas kasihan, hanya butuh kesempatan: teknologi, subsidi, dan harga yang adil.
Selama itu belum terwujud, perjuangan petani tembakau akan terus berlanjut. Dan setiap helai daun yang mengering di bawah matahari adalah saksi bisu dari perjuangan yang tak pernah selesai.
KKN Moderasi Beragama posko 62 UIN Walisongo Semarang