Jatengvox.com – Langit Jawa Tengah dalam beberapa pekan terakhir menjadi “laboratorium” besar bagi tim modifikasi cuaca. Melalui operasi rekayasa cuaca, pesawat milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terbang menabur garam di awan—upaya yang diyakini mampu menurunkan intensitas hujan hingga 70 persen.
Total sudah 48 sortie penerbangan dilakukan hingga awal November 2025 ini. Setiap penerbangan membawa sekitar satu ton natrium klorida (NaCl), atau total 48 ton garam yang disemai di atmosfer, terutama di wilayah Pantai Utara Jawa Tengah (Pantura) seperti Semarang, Demak, dan sekitarnya.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Dalam beberapa pekan terakhir, curah hujan di kawasan itu tercatat melebihi ambang normal, memicu genangan dan banjir di sejumlah titik.
Direktur Dukungan Sumber Daya Darurat BNPB, Agus Riyanto, menjelaskan bahwa operasi modifikasi cuaca dilakukan untuk mengurangi risiko banjir, bukan menghilangkan hujan sama sekali.
“Kalau hitungan persentase, sekitar 70 persen berkurang. Intervensi kami fokus di wilayah yang masih ada genangan atau di hulu sungai yang mengarah ke Pantura,” ujarnya, Senin (3/11/2025).
Agus menambahkan, rekayasa cuaca pada dasarnya tidak perlu dilakukan bila sistem penanggulangan banjir di daerah sudah berjalan optimal.
“Kalau drainase lancar, pompa bekerja baik, dan kolam retensi berfungsi maksimal, hujan tinggi pun bisa tertangani. Tapi karena kondisi belum ideal, intervensi udara ini jadi pilihan,” lanjutnya.
Proses rekayasa dilakukan dengan cara menyemai garam di awan potensial, sehingga hujan turun lebih awal—sebelum mencapai wilayah daratan padat penduduk. “Awan diarahkan agar hujan turun di laut, bukan di daratan,” tambah Agus.
Meski terbukti membantu mengurangi intensitas hujan, Agus menegaskan bahwa rekayasa cuaca tidak boleh dianggap solusi tunggal untuk mengatasi bencana banjir.
Menurutnya, langkah ini hanya bersifat sementara dan perlu dibarengi dengan penguatan infrastruktur air, seperti normalisasi sungai, peningkatan kapasitas pompa, dan penataan saluran drainase.
“Kalau semua sistem berjalan sebagaimana mestinya, kita tidak perlu menyemai garam di langit hanya untuk menahan banjir,” ujarnya dengan nada reflektif.
Sementara itu, Supervisi Operasional Modifikasi Cuaca Posko Jawa Tengah BMKG Pusat, Fikri Nur Muhammad, mengingatkan masyarakat agar tidak lengah.
Menurutnya, periode transisi dari kemarau ke penghujan sering kali ditandai dengan cuaca ekstrem yang sulit diprediksi.
“Sekarang ini masa peralihan, jadi tetap waspada. Puncak hujan diperkirakan terjadi pada November hingga Desember 2025. Intensitasnya bisa cukup signifikan,” ujarnya.
Fikri menambahkan, meskipun intensitas hujan berhasil ditekan sementara, masyarakat tetap perlu meningkatkan kesiapsiagaan, terutama yang tinggal di kawasan rawan banjir dan daerah aliran sungai.
Editor : Murni A













