Jatengvox.com – Pernahkah Anda membayangkan, setelah menjalani hukuman dan ingin memulai hidup baru, ternyata pintu-pintu pekerjaan masih tertutup rapat hanya karena selembar kertas bernama SKCK?
Ya, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), yang selama ini menjadi prasyarat utama dalam banyak proses administratif, kini tengah jadi perbincangan panas karena usulan penghapusannya.
Menariknya, wacana ini datang dari tokoh yang tak asing dalam dunia hak asasi manusia Indonesia.
Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, baru-baru ini mengumumkan bahwa SKCK diusulkan untuk dihapus atau setidaknya dicabut pemberlakukannya sebagai syarat administratif dalam dunia kerja.
Menurutnya, keberadaan SKCK bisa menjadi tembok tak terlihat yang mendiskriminasi mantan narapidana yang berupaya kembali ke masyarakat.
“SKCK kerap menghalangi mantan narapidana mendapat pekerjaan, padahal mereka berhak mendapatkan kesempatan kedua,” ujar Pigai dalam pernyataannya.
Sebenarnya, SKCK adalah surat resmi yang diterbitkan oleh Kepolisian Republik Indonesia melalui unit Intelijen Keamanan.
Surat ini berisi catatan apakah seseorang pernah atau tidak pernah terlibat dalam tindak pidana.
Aturan mengenai penerbitan SKCK diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 dan Pasal 15 Ayat 2 huruf B Perpolri Nomor 6 Tahun 2023, yang menjadi dasar hukum kuat atas penerbitannya.
Selama ini, SKCK digunakan untuk berbagai keperluan: mulai dari melamar pekerjaan, mencalonkan diri sebagai pejabat publik, hingga pengurusan visa dan beasiswa.
Keberadaannya dianggap sebagai upaya kepolisian dalam memberikan perlindungan dan informasi kepada lembaga-lembaga terkait agar bisa lebih selektif.
Namun, tak bisa dimungkiri bahwa penerapan dokumen ini juga menyisakan masalah besar yang menyangkut hak asasi.
Salah satu dampak positif dari penghapusan SKCK adalah terbukanya peluang bagi mantan narapidana untuk diterima kembali di lingkungan sosial, termasuk dunia kerja.
“Dengan menghapus syarat SKCK, kita membuka ruang lebih besar bagi mantan napi untuk memperbaiki diri dan hidup lebih baik,” demikian penekanan dari Kementerian HAM.
Tak hanya berdampak pada sisi kemanusiaan, penghapusan SKCK juga bisa menutup celah pungutan liar dan setoran tidak resmi yang sering kali terjadi dalam proses pengurusannya.
Namun tentu saja, wacana ini tidak luput dari sorotan kritis. Penghapusan SKCK menimbulkan sejumlah kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama dari sisi keamanan dan administratif.
Tanpa adanya akses pada catatan kriminal, perusahaan bisa jadi kesulitan dalam menyaring pelamar dengan latar belakang yang mungkin berisiko.
Hal serupa juga berlaku dalam pengurusan visa ke luar negeri—banyak negara memberlakukan syarat ketat terkait latar belakang kriminal.
Belum lagi, untuk urusan seperti proses adopsi anak atau seleksi program beasiswa, keberadaan SKCK menjadi penting sebagai bentuk validasi integritas seseorang.
Tanpa dokumen ini, lembaga atau institusi terkait bisa kehilangan alat pertimbangan yang cukup vital. “SKCK menjadi alat penting dalam memastikan transparansi latar belakang individu, terutama dalam hal yang menyangkut keamanan dan tanggung jawab publik,” ungkap salah satu pengamat kebijakan publik yang tidak ingin disebutkan namanya.
Namun bagi sebagian pihak, ini adalah momentum untuk menyusun ulang sistem penilaian karakter seseorang. Harus diakui, masa lalu seseorang bukanlah segalanya.
Jika selama ini SKCK jadi semacam “cap” permanen terhadap kesalahan di masa lalu, maka usulan ini menjadi angin segar bagi prinsip keadilan sosial.
Kementerian HAM mendorong perusahaan serta instansi untuk lebih terbuka terhadap pelamar dari latar belakang mantan narapidana.
Hal ini bukan hanya soal empati, tapi juga strategi jitu untuk menekan angka residivisme atau kejahatan berulang.***