Jatengvox.com – Dalam dunia keuangan yang terus bergerak cepat, langkah-langkah menjaga kedaulatan sistem pembayaran tentu menjadi suatu keniscayaan.
Namun, apa jadinya jika langkah tersebut justru menuai kritik dari pihak luar, terutama negara besar seperti Amerika Serikat?
Inilah yang kini tengah terjadi di Indonesia, di mana sederet regulasi dari Bank Indonesia (BI) dalam memperkuat sistem pembayaran nasional justru disorot oleh pelaku industri dan pemerintah AS.
Salah satu sorotan utama datang dari laporan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang dirilis pada Mei 2025.
Laporan itu menyoroti kebijakan yang tertuang dalam Peraturan BI No. 19/8/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Dalam aturan tersebut, seluruh transaksi debit dan kredit ritel domestik wajib diproses melalui lembaga switching yang berbasis dan berizin di Indonesia.
Tak hanya itu, BI juga membatasi kepemilikan asing dalam perusahaan switching maksimal hanya 20 persen.
“Kebijakan ini secara otomatis membatasi peran perusahaan asing dalam memproses transaksi ritel domestik, termasuk melarang layanan pembayaran lintas batas untuk kartu debit dan kredit,” tulis laporan tersebut yang dikutip pada Minggu (20/4).
Kritik dari AS bukan hanya soal angka kepemilikan, tapi juga menyangkut proses pelibatan dalam penyusunan regulasi.
Dalam Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017, perusahaan asing diwajibkan menjalin kemitraan dengan lembaga switching lokal berizin jika ingin ikut serta memproses transaksi domestik.
Namun, kemitraan ini tidak serta-merta diizinkan. Setiap perjanjian harus melalui persetujuan Bank Indonesia, dan hanya diberikan jika perusahaan tersebut mendukung pengembangan industri nasional, salah satunya melalui transfer teknologi.
Tak berhenti sampai di situ, regulasi mengenai pembayaran berbasis QR code juga turut menjadi sorotan.
Indonesia memperkenalkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) pada tahun 2019 melalui Peraturan BI No. 21/2019 sebagai standar nasional pembayaran QR
Namun, perusahaan pembayaran dari AS menilai tidak ada pelibatan yang optimal dalam proses perumusannya.
Mereka mengeluhkan kurangnya transparansi dan kesempatan untuk menyampaikan masukan, terutama terkait interoperabilitas dengan sistem pembayaran global.
Di tengah pesatnya pertumbuhan transaksi digital, Bank Indonesia kembali melangkah maju dengan menerbitkan Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, sebagai bagian dari Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025.
Berlaku mulai Juli 2021, aturan ini memperkenalkan klasifikasi risiko dan model perizinan baru.
Namun lagi-lagi, sorotan tertuju pada pembatasan kepemilikan asing, khususnya untuk operator layanan pembayaran nonbank.
Kepemilikan asing maksimal hanya 85 persen, dan hanya 49 persen saham yang memiliki hak suara. Sedangkan untuk perusahaan infrastruktur (back-end), batasnya tetap di angka 20 persen.
“Minimnya konsultasi dari BI menjadi salah satu hambatan dalam menciptakan sistem pembayaran yang inklusif dan kompetitif secara global,” tulis laporan tersebut, menyoroti kurangnya ruang dialog antara BI dan pelaku asing.
Langkah penguatan sistem pembayaran nasional semakin ditegaskan dengan kebijakan baru pada Mei 2023, di mana BI mewajibkan seluruh transaksi kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN.
Pemerintah daerah pun diwajibkan menerbitkan dan menggunakan kartu kredit lokal.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran dari perusahaan pembayaran asal AS, yang merasa akses mereka ke dalam sistem pembayaran domestik semakin terbatas, terutama dalam konteks transaksi pemerintahan.
Dari sudut pandang Bank Indonesia, kebijakan-kebijakan ini adalah bagian dari upaya menjaga kedaulatan sistem keuangan nasional.
Namun di sisi lain, perusahaan asing merasa terpinggirkan dari proses, yang bisa berdampak terhadap iklim investasi serta pertukaran teknologi ke depan.
Bahkan, muncul anggapan bahwa sistem pembayaran nasional yang terlalu tertutup justru bisa menghambat laju inovasi yang kini tengah berkembang pesat secara global.
Menariknya, meskipun ada berbagai regulasi yang dikritisi, pelaku industri di Indonesia tetap mengakui pentingnya langkah BI dalam membangun sistem pembayaran yang lebih efisien, aman, dan berpihak pada kepentingan nasional.
Namun, mereka juga menekankan bahwa kolaborasi dengan pelaku global seharusnya tetap dijaga demi pengembangan teknologi dan layanan yang lebih luas untuk masyarakat Indonesia.***