Jatengvox.com – Tak ada angin, tak ada hujan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tiba-tiba terjun bebas hingga memicu penghentian sementara perdagangan atau yang dikenal dengan istilah trading halt.
Kejadian langka yang selalu menimbulkan kecemasan, baik bagi investor kawakan maupun pemula yang masih belajar mengenal dunia saham.
Pada perdagangan sesi pertama Selasa, 8 April 2025, IHSG tercatat anjlok 7,71 persen atau setara dengan penurunan 502,14 poin, mendarat keras di level 6.008. Sontak, suasana di lantai bursa langsung berubah drastis.
Tidak sedikit yang mendadak panik, terutama ketika peringatan trading halt diumumkan. Suatu sinyal keras bahwa pasar sedang tidak baik-baik saja.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memberikan pernyataan yang cukup mencengangkan.
“Sebuah sinyal bahaya yang tak bisa diabaikan, menandakan kepanikan luar biasa di kalangan pelaku pasar,” ujarnya tegas.
Ucapan itu seolah memperkuat betapa seriusnya gejolak yang sedang terjadi saat ini.
Sesi siang pun tak menunjukkan perbaikan signifikan. Walau Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali membuka jalur transaksi setelah trading halt, IHSG tetap lemah.
Bukannya memantul, indeks malah terkapar di zona merah, tak menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Volume transaksi saham mencapai 14,28 miliar lembar, dengan nilai total sebesar Rp12,57 triliun.
Dari 888.589 transaksi yang terjadi, tercatat 672 saham mengalami penurunan harga, sementara hanya 23 saham yang menguat dan 93 lainnya stagnan.
Menanggapi situasi tersebut, Achmad Nur Hidayat kembali memberikan pandangannya.
“Ini mengonfirmasi bahwa tekanan jual masih sangat kuat,” jelasnya.
Bukan hanya aksi panic selling, kondisi ini juga mengindikasikan adanya ketidakseimbangan psikologis dalam pengambilan keputusan pasar.
Para investor seolah berlomba-lomba keluar dari pasar demi menyelamatkan modal, meskipun itu berarti harus menanggung kerugian besar.
Yang menjadi pertanyaan besar—dan sangat masuk akal—adalah mengapa IHSG bisa jatuh lebih dalam dibandingkan bursa regional lainnya seperti di Singapura, Malaysia, atau Thailand?
Bukankah tekanan global seharusnya memukul pasar secara merata? Tapi nyatanya, Indonesia yang paling menderita.
Dalam kacamata Achmad, penyebabnya tak semata-mata berasal dari faktor eksternal. Ia menyoroti struktur pasar keuangan domestik yang memang masih rapuh dan rentan gejolak.
“Tidak hanya terletak pada guncangan global, tetapi pada struktur pasar keuangan Indonesia,” kritiknya.
Sebuah pernyataan yang mengajak kita semua untuk berkaca lebih dalam: seberapa kuat fondasi pasar kita jika ternyata goyangan dari luar saja sudah cukup membuatnya ambruk?
Dalam situasi seperti ini, bisa dibilang rasa panik adalah musuh terbesar.
Tapi bukankah dalam dunia investasi, ketenangan adalah kunci? Sayangnya, itu mudah diucapkan dan sangat sulit dipraktikkan.
Apalagi saat menyaksikan angka-angka di portofolio terus turun seiring waktu, siapa yang tidak khawatir?***