Jatengvox.com – Lompat batu, atau yang dikenal sebagai fahombo batu, merupakan salah satu tradisi dari Pulau Nias, Sumatera Utara, yang telah mendunia.
Tradisi ini begitu lekat dengan masyarakat Nias, terutama di Desa Adat Bawomataluo, Kabupaten Nias Selatan, yang menjadi pusat dari warisan budaya ini.
Sayangnya, seiring perkembangan zaman, minat generasi muda terhadap tradisi lompat batu semakin menurun drastis. Bahkan, jumlah pelompat batu di Desa Bawomataluo kini hanya tersisa lima orang.
Bawomataluo, yang didirikan pada awal tahun 1830-an, telah lama dikenal sebagai desa asal tradisi lompat batu. Desa ini melahirkan pelompat-pelompat batu terbaik yang memperlihatkan keahlian mereka dalam tradisi fahombo batu.
Pada masa lalu, tradisi ini bahkan diabadikan dalam uang kertas Indonesia dengan nominal 1.000 rupiah edisi tahun 1992, menjadikannya ikon budaya yang tak lekang oleh waktu.
Asal-usul fahombo batu berakar pada sejarah perang antar desa di Pulau Nias. Tradisi ini berfungsi sebagai latihan bagi para pemuda untuk melompati pagar batu desa-desa musuh saat terjadi peperangan.
Desa-desa di Nias pada masa itu sering kali dikelilingi pagar batu untuk melindungi penduduk dari serangan musuh. Karena itulah, para pemuda harus terlatih untuk melompati pagar tersebut guna menyerang balik.
Pada masa lalu, hampir setiap pemuda di desa Nias belajar melompati batu dengan berlatih sejak usia muda. Mereka mengandalkan kekuatan fisik, stamina, dan ketekunan dalam melatih kemampuan melompati batu setinggi dua meter.
Namun, di era modern ini, di mana segalanya serba instan, semakin sedikit pemuda yang tertarik untuk mengabdikan diri pada latihan fisik yang memakan waktu bertahun-tahun.
Salah satu pelompat batu yang tersisa, Silfester Putra Fau, mengungkapkan betapa pentingnya tradisi ini untuk tetap dilestarikan. “Saat ini kami hanya tinggal 5 orang yang masih bisa melakukan lompat batu di Desa Bawomataluo,” ujar Putra, Sabtu (21/9/2024).
Putra menceritakan bahwa ia memulai latihan dengan menggunakan bambu setinggi 1 meter, kemudian secara bertahap meningkatkan tinggi lompatan hingga mencapai 2 meter, sebelum akhirnya melompati batu yang sebenarnya.
Pada zaman dulu, jumlah pelompat batu di Desa Bawomataluo pernah mencapai 12 orang, namun kini jumlah tersebut semakin menyusut. Sementara desa tersebut masih dihuni ribuan penduduk, hanya sedikit yang berminat melanjutkan tradisi ini.
Menurut Putra, alasan utama minimnya minat anak muda adalah karena latihan yang harus dilakukan bertahun-tahun, yang tidak sesuai dengan gaya hidup generasi muda yang serba cepat.
Putra juga menekankan pentingnya regenerasi dalam menjaga kelangsungan fahombo batu. Ia berharap agar generasi muda tetap bersemangat dalam melestarikan tradisi ini agar tidak punah.
“Harapan saya kepada junior-junior kami yang ingin melanjutkan lompat batu, marilah berlatih dengan baik. Jangan sampai lompat batu ini musnah, karena ini juga menjadi daya tarik wisatawan datang ke sini,” katanya penuh harap.
Lompat batu bukan sekadar atraksi fisik, melainkan juga upacara sakral yang dilakukan dengan busana pejuang khas Nias.
Para peserta biasanya mulai berlatih sejak usia 10 tahun, di mana setiap lompatan tidak hanya membutuhkan kekuatan, tetapi juga harus dilakukan dengan penuh kehormatan dan penghayatan.
Dengan mengenakan pakaian perang tradisional, lompatan ini menjadi lebih dari sekadar tradisi fisik; ia adalah simbol perjuangan, keahlian, dan kebanggaan masyarakat Nias.
Dengan semakin menipisnya jumlah pelompat batu, tradisi fahombo batu kini berada di ujung tanduk.
Namun, dengan upaya pelestarian yang serius dari para pemuda dan dukungan komunitas lokal, tradisi ini masih memiliki harapan untuk bertahan dan terus menjadi bagian dari identitas budaya Nias yang unik.***