Jatengvox.com – Ribuan buruh dan petani yang tergabung dalam Partai Buruh serta Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan aksi demonstrasi pada Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap 24 September.
Aksi kali ini berpusat di Patung Kuda Monas, Jakarta, dan dilanjutkan dengan long march menuju Gedung DPR RI. Mereka menyuarakan keprihatinan atas pelaksanaan reforma agraria yang dianggap tidak sesuai dengan harapan rakyat kecil.
Dalam aksi tersebut, Ketua Umum SPI, Henry Saragih, mengungkapkan bahwa pelaksanaan reforma agraria selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo justru memperlebar ketimpangan agraria.
“Reforma agraria dimanipulasi pada kegiatan bukan merombak struktur agraria yang timpang, justru memperlebar ketimpangan agraria itu sendiri,” ungkap Henry dalam pernyataan resminya, Selasa (24/9/2024).
Ia juga menyoroti tidak digunakannya Undang-Undang (UU) No.5/1990 sebagai landasan kebijakan dalam reforma agraria. Begitu pula dengan UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta UU No.18/2012 tentang Pangan.
Sebaliknya, pemerintah malah menerbitkan kebijakan seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan cita-cita keadilan agraria.
Selain itu, Partai Buruh dan SPI mendesak agar pemerintah segera melaksanakan land reform yang sesungguhnya.
Mereka menuntut agar tanah-tanah dapat dibagikan kepada petani kecil, nelayan, serta masyarakat yang belum memiliki lahan.
Menurut Henry, langkah ini krusial untuk mencapai kedaulatan pangan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sekretaris Jenderal Partai Buruh, Ferri Nuzarli, menegaskan bahwa reforma agraria harus dijalankan sesuai dengan konstitusi dan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Ia menekankan bahwa UU Cipta Kerja, yang menurutnya melanggar konstitusi, harus segera dicabut. “Undang-undang ini menghalangi dilaksanakannya reforma agraria,” tegas Ferri.
Kritik keras juga disampaikan terkait keberadaan Bank Tanah yang dianggap memperparah ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengungkapkan bahwa lembaga tersebut justru menjadi instrumen kapitalis neoliberal yang dipromosikan oleh IMF dan Bank Dunia.
Menurutnya, Bank Tanah memperkuat ketidakadilan dalam kepemilikan lahan dan merampas hak-hak rakyat.
Aksi ini mencerminkan tuntutan konkret dari buruh dan petani untuk segera mengakhiri berbagai regulasi yang dianggap merugikan mereka. Reformasi agraria yang sejati, serta perlindungan terhadap petani dan pekerja, menjadi sorotan utama dalam perjuangan panjang mereka.***