Jatengvox.com – Krisna Murti, seorang pengacara yang terkenal karena menangani kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon, kini mendapatkan gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Jayabaya.
Setelah menempuh pendidikan S3 sejak Maret 2021, Krisna berhasil meraih gelar tersebut dengan predikat cumlaude pada Oktober 2024.
Dalam keterangannya kepada awak media, Krisna berharap gelar ini menjadi langkah awal untuk meraih gelar profesor.
Dalam disertasinya yang berjudul:
“Formulasi Ideal Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perspektif Keadilan dan Kepastian Hukum”,
Krisna menawarkan pandangan tentang pentingnya pemberian kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali.
Krisna berpendapat, sistem hukum Indonesia perlu memberikan kesempatan bagi JPU untuk mengambil langkah ini demi mencapai keadilan dan kepastian hukum yang lebih baik.
“Kewenangan ini penting untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya berada di pihak terdakwa, tetapi juga korban yang diwakili oleh jaksa,” ujar Krisna.
Ia menjelaskan, peninjauan kembali oleh jaksa sebaiknya didasarkan pada bukti-bukti baru yang kuat, seperti ditemukannya fakta baru (novum) atau adanya kekeliruan hakim dalam penanganan kasus.
Menurut Krisna, penegakan hukum tidak boleh hanya mengejar keadilan formal atau prosedural, tetapi harus mengutamakan keadilan substantif yang mencerminkan nilai-nilai hidup di masyarakat.
Sebagai contoh, Krisna menyebut kasus Vina di Cirebon sebagai bukti bahwa hukum harus berpihak pada semua golongan, termasuk rakyat kecil. “Hukum harus adil untuk semua, bukan hanya milik kaum elit,” tegasnya.
Krisna juga menyerukan agar DPR dan pemerintah melakukan amendemen terhadap KUHAP, khususnya Pasal 263 yang hanya memberikan hak peninjauan kembali kepada terpidana.
Ia meyakini bahwa pemberian kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan peninjauan kembali akan memperkuat sistem peradilan pidana Indonesia.
Dengan demikian, keadilan substantif dapat lebih tercapai dibandingkan dengan hanya mengedepankan prosedur formal yang ada saat ini.
Ia pun menambahkan bahwa peninjauan kembali oleh JPU adalah salah satu upaya transformasi hukum di Indonesia yang berorientasi pada keadilan yang lebih luas.
“Jika KUHAP diubah dengan desain yang baik, kita bisa menciptakan sistem peradilan yang tidak hanya adil, tetapi juga pasti secara hukum,” pungkasnya.***