Jatengvox.com – Presiden Prabowo Subianto memberikan penjelasan mengenai pernyataannya yang sebelumnya sempat menjadi sorotan publik.
Dalam pidatonya, Prabowo menyampaikan pandangan bahwa koruptor yang mengembalikan uang hasil korupsinya kepada negara layak untuk mendapatkan kesempatan bertobat.
Pernyataan ini memunculkan berbagai interpretasi di masyarakat, sehingga ia merasa perlu memberikan klarifikasi.
Prabowo menegaskan bahwa dirinya tidak pernah berniat memaafkan koruptor begitu saja.
“Ada yang mengatakan Prabowo mau memaafkan koruptor, bukan begitu. Kalau koruptornya sudah tobat, bagaimana tokoh-tokoh agama ya kan? Orang bertobat, berarti kembalikan dong yang kau curi,” ujarnya, (29/12/2024).
Ia menjelaskan bahwa ajakan tersebut berlandaskan nilai agama yang menekankan pentingnya tobat dan perbaikan diri.
Baginya, tobat tidak hanya berarti mengakui kesalahan, tetapi juga memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkan.
“Enak saja, sudah nyolong ‘aku bertaubat’ yeh. Yang kau curi kau kembalikan, bukan saya maafkan koruptor, tidak,” tegas Prabowo.
Restoratif dan Pemulihan Kerugian Negara
Pernyataan ini menuai tanggapan dari berbagai kalangan, salah satunya Pieter C. Zulkifli, seorang pengamat hukum dan politik.
Ia menilai bahwa pendekatan yang dikemukakan oleh Prabowo selaras dengan prinsip restoratif yang diatur dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).
Strategi ini menekankan pada pemulihan kerugian negara, bukan sekadar penghukuman.
“Penegakan hukum harus membawa manfaat bagi bangsa, bukan hanya sekadar balas dendam,” jelas Pieter.
Namun, ia juga menyoroti bahwa komitmen ini harus diikuti dengan langkah nyata.
“Tanpa keberanian dan konsistensi dari seorang kepala negara, pemberantasan korupsi akan terus menjadi sekadar omong kosong,” tambahnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, turut mendukung pendekatan ini.
Ia menyebutnya sebagai strategi yang lebih manusiawi dan berorientasi pada solusi konkret. Meski demikian, masyarakat tetap berharap komitmen Prabowo tidak berhenti pada wacana semata.
Tantangan Sistemik dalam Pemberantasan Korupsi
Korupsi di Indonesia telah lama menjadi masalah sistemik yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari lingkaran kekuasaan hingga birokrasi.
Pieter menekankan pentingnya reformasi menyeluruh untuk memutus “lingkaran setan” antara kekuasaan dan uang.
“Hukum sering tunduk pada kekuatan modal. Tanpa reformasi, korupsi akan terus menjadi momok bagi bangsa ini,” paparnya.
Hal ini diperparah dengan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
Berdasarkan laporan Transparency International tahun 2023, IPK Indonesia stagnan di angka 34 dari skala 100, menunjukkan minimnya kemajuan dalam pemberantasan korupsi.
Harapan dan Langkah Ke Depan
Menurut Pieter, Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk mengubah arah pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Sejarah menunjukkan bahwa peran Presiden sangat menentukan. Jika Prabowo berani bersikap tegas tanpa pandang bulu, maka korupsi dapat diberantas lebih efektif,” ujarnya.
Ia juga berharap Prabowo mampu memperkuat institusi seperti KPK dan Kejaksaan Agung dalam memberantas korupsi.
“Sikap rendah hati dan komitmen yang tegas dari kepala negara akan mempercepat proses Indonesia menjadi negara maju,” tutup Pieter.
Di tengah skeptisisme publik, janji-janji antikorupsi Prabowo akan diuji oleh tindakannya ke depan.
Masyarakat menantikan langkah nyata untuk membuktikan bahwa komitmennya tidak hanya berhenti pada retorika, tetapi juga diwujudkan melalui kebijakan dan tindakan konkret.***