Jatengvox.com – Di tengah gempuran tuntutan hidup dan cepatnya perkembangan zaman, semakin banyak generasi muda yang mulai berani menyuarakan pernikahan bukan prioritas.
Pandangan ini mulai mencuat dari generasi Z, atau Gen Z, yang kini berada di usia produktif dan menjadi bagian penting dalam demografi masyarakat.
Di media sosial, ungkapan seperti menikah bukan pencapaian atau lebih baik fokus karier dulu menjadi narasi umum yang menunjukkan adanya pergeseran besar soal makna komitmen.
Fenomena pernikahan bukan prioritas ini bukan sekadar tren sesaat. Dalam berbagai survei dan riset, terlihat bahwa banyak anak muda merasa tidak lagi melihat pernikahan sebagai tujuan hidup utama.
Lebih dari Sekadar Takut Komitmen
Pandangan Gen Z tentang komitmen bukan berarti mereka anti hubungan. Justru sebaliknya, mereka menginginkan koneksi emosional yang sehat dan setara.
Namun, beban ekonomi, trauma melihat kegagalan rumah tangga generasi sebelumnya, serta meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental membuat mereka lebih hati-hati.
Selain itu, Gen Z tumbuh dalam era digital yang serba cepat dan penuh pilihan. Di satu sisi, mereka bebas menentukan jalan hidup sendiri.
Di sisi lain, ekspektasi sosial tentang menikah di usia tertentu dianggap tidak lagi relevan.
Menurut survei dari Populix tahun 2024, sebanyak 63% responden dari Gen Z menyatakan bahwa mereka belum memiliki rencana menikah dalam waktu dekat, dengan alasan utama adalah belum siap secara finansial dan mental.
Komitmen Kini Didefinisikan Ulang
Bagi Gen Z, komitmen bukan berarti harus menikah. Mereka lebih menekankan pada kualitas hubungan, komunikasi yang jujur, dan kepercayaan.
Banyak dari mereka memilih menjalin hubungan jangka panjang tanpa ikatan legal, atau bahkan fokus membangun “komitmen pada diri sendiri” sebelum memutuskan berbagi hidup dengan orang lain.
Media Sosial dan Pengaruh Budaya Pop
Media sosial menjadi ruang utama di mana narasi pernikahan bukan prioritas diperkuat.
Dari TikTok hingga Twitter (X), banyak konten yang mengangkat kisah nyata soal toxic marriage, pengalaman pasangan hidup tanpa menikah, hingga kisah sukses individu yang memilih single life.
Tak jarang, budaya pop pun ikut mendorong opini ini. Film, lagu, dan serial TV memperlihatkan bahwa kebahagiaan tidak harus didapat dari kehidupan pernikahan.
Namun, pandangan ini tetap menuai pro dan kontra. Kaum konservatif menganggapnya sebagai bentuk kemunduran nilai, sementara sebagian besar Gen Z melihatnya sebagai bentuk kebebasan dan kesadaran diri.
Apa Dampaknya bagi Masyarakat?
Jika tren ini terus berlanjut, tentu akan berdampak pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Angka pernikahan yang terus menurun bisa memengaruhi industri pernikahan, perumahan, bahkan angka kelahiran. Tapi di sisi lain, muncul peluang untuk menciptakan tatanan sosial baru yang lebih inklusif dan memahami berbagai pilihan hidup.
Lembaga pendidikan, agama, dan pemerintah perlu mulai merespons perubahan ini dengan pendekatan yang lebih relevan. Karena kenyataannya, generasi masa depan tidak lagi melihat pernikahan sebagai kewajiban melainkan pilihan yang sangat personal.
Pada akhirnya, keputusan untuk menikah atau tidak adalah hak setiap individu. Gen Z hanya mencoba mendefinisikan ulang arti komitmen dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak menolak cinta, hanya lebih selektif dalam membagikannya.***