Jatengvox.com – Generasi Z atau Gen Z, yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2010-an, memiliki pandangan yang berbeda tentang pernikahan dibandingkan generasi sebelumnya.
Bagi sebagian besar Gen Z, pernikahan tidak lagi dianggap sebagai hal yang esensial dalam kehidupan.
Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari perubahan pola pikir hingga kondisi sosial ekonomi yang turut memengaruhi persepsi mereka.
Kebebasan Pribadi yang Lebih Utama
Salah satu alasan utama mengapa Gen Z merasa pernikahan tidak lagi relevan adalah pentingnya kebebasan pribadi.
Gen Z cenderung memiliki pandangan bahwa kehidupan pribadi harus bebas dari tekanan dan batasan.
Mereka lebih memilih mengejar kebahagiaan dan kebebasan secara mandiri daripada terikat dalam komitmen pernikahan yang dianggap mengekang.
Dalam pandangan mereka, pernikahan bukan lagi satu-satunya jalan untuk meraih kebahagiaan; kebahagiaan bisa diperoleh melalui pencapaian pribadi, karier, atau persahabatan yang erat.
Fokus pada Karier dan Pendidikan
Gen Z tumbuh di era yang sangat kompetitif, di mana mereka perlu berjuang keras untuk mencapai kesuksesan. Hal ini mendorong banyak dari mereka untuk lebih fokus pada pendidikan dan karier.
Menunda atau bahkan menolak pernikahan menjadi langkah yang dipilih agar tidak mengganggu tujuan pribadi tersebut.
Banyak dari mereka melihat bahwa komitmen jangka panjang, seperti pernikahan, dapat mengalihkan fokus dari impian dan ambisi yang telah lama dibangun.
Pandangan yang Kritis Terhadap Lembaga Pernikahan
Generasi ini juga cenderung lebih kritis dalam menilai lembaga pernikahan itu sendiri.
Dengan adanya peningkatan angka perceraian dan berbagai kasus konflik rumah tangga, Gen Z lebih waspada dan mempertanyakan relevansi pernikahan sebagai solusi kebahagiaan jangka panjang.
Bagi mereka, komitmen tidak harus diwujudkan dalam bentuk pernikahan yang formal, tetapi dapat ditemukan dalam hubungan yang fleksibel dan didasari kepercayaan, tanpa adanya ikatan hukum yang mengikat.
Kondisi Ekonomi yang Tidak Stabil
Kondisi ekonomi global yang semakin sulit menjadi faktor lain yang membuat Gen Z berpikir ulang untuk menikah.
Banyak dari mereka yang belum siap secara finansial untuk memulai keluarga karena biaya hidup yang tinggi dan ketidakpastian ekonomi.
Membiayai pernikahan dan keluarga dianggap sebagai beban tambahan yang bisa mengganggu kestabilan finansial.
Sebaliknya, mereka memilih untuk fokus pada kemandirian finansial dan kestabilan ekonomi pribadi sebelum mempertimbangkan pernikahan sebagai pilihan.
Meningkatnya Kesadaran akan Kesehatan Mental
Kesadaran akan kesehatan mental juga turut memengaruhi pandangan Gen Z terhadap pernikahan. Bagi mereka, menjalani hubungan yang sehat adalah prioritas, dan pernikahan tidak selalu menjamin hal tersebut.
Banyak Gen Z yang lebih memilih fokus pada kesejahteraan mental mereka terlebih dahulu, menghindari komitmen yang mungkin membawa tekanan emosional.
Mereka juga cenderung mencari pasangan yang mendukung keseimbangan dalam hidup, bukan hanya sekadar status formal dalam bentuk pernikahan.
Pilihan Gaya Hidup yang Beragam
Gen Z juga tumbuh di era di mana pilihan gaya hidup semakin beragam dan dapat diterima oleh masyarakat.
Mereka merasa lebih leluasa dalam menentukan jalan hidup, baik itu hidup sendiri, berpacaran tanpa menikah, atau membangun keluarga tanpa ikatan pernikahan resmi.
Pilihan-pilihan ini dianggap lebih relevan dan fleksibel dalam mencerminkan nilai-nilai yang mereka anut, seperti kebebasan berekspresi dan kejujuran dalam hubungan.
Pengaruh Teknologi dan Media Sosial
Teknologi dan media sosial berperan besar dalam membentuk pandangan Gen Z mengenai pernikahan.
Mereka lebih mudah mengakses informasi dan melihat pengalaman hidup dari berbagai sudut pandang.
Hal ini membuat mereka lebih terbuka dalam memahami pro dan kontra pernikahan dari perspektif yang berbeda.
Media sosial juga memperlihatkan banyaknya alternatif gaya hidup yang memungkinkan kebahagiaan tanpa harus melalui pernikahan.***