Jatengvox.com – Pernikahan sering kali dianggap sebagai salah satu pencapaian hidup yang diimpikan banyak orang.
Namun, bagi Gen Z, pernikahan tidak selalu dianggap sebagai prioritas utama atau tolok ukur kebahagiaan.
Banyak dari generasi ini yang justru memandang pernikahan dengan perspektif yang berbeda, yang terkadang bertolak belakang dengan pandangan generasi sebelumnya.
Apa sebenarnya alasan di balik cara pandang ini, dan benarkah menikah hanya dianggap sebagai beban oleh Gen Z?
Nilai-Nilai Kebebasan dan Pengembangan Diri
Salah satu karakteristik kuat dari generasi ini adalah pentingnya kebebasan dan ruang untuk berkembang secara individu.
Bagi Gen Z, meraih kebahagiaan pribadi dan keseimbangan hidup lebih diutamakan dibandingkan harus segera berkomitmen dalam pernikahan.
Mereka cenderung melihat pernikahan sebagai keputusan besar yang hanya dapat diambil setelah benar-benar mengenali diri sendiri dan mencapai kematangan emosional.
Menurut beberapa survei, banyak Gen Z yang lebih memilih fokus pada karier, pendidikan, atau perjalanan hidup yang memberdayakan diri sebelum berpikir tentang membangun rumah tangga.
Bagi mereka, pernikahan bukan sekadar kebahagiaan, tetapi juga tanggung jawab dan komitmen yang membutuhkan kesiapan mental serta finansial.
Dengan tingginya biaya hidup dan berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi, mereka merasa wajar jika menunda atau bahkan mempertimbangkan kembali keinginan untuk menikah.
Trauma dan Pengalaman dari Lingkungan Sekitar
Banyak Gen Z yang tumbuh di era ketika tingkat perceraian meningkat atau melihat konflik pernikahan di sekelilingnya, baik dari keluarga atau lingkungan sosial.
Pengalaman-pengalaman ini membuat mereka lebih kritis terhadap ide pernikahan. Mereka belajar dari kesalahan atau kesulitan yang dihadapi generasi sebelumnya dan cenderung lebih hati-hati dalam memutuskan hubungan yang melibatkan komitmen panjang.
Trauma atau pengalaman negatif ini sering kali membuat mereka berpikir bahwa pernikahan bukanlah solusi untuk kebahagiaan atau kestabilan hidup.
Sebaliknya, mereka lebih berfokus pada upaya membangun hubungan yang sehat dan saling mendukung tanpa harus terikat dalam ikatan pernikahan.
Pilihan Gaya Hidup yang Fleksibel dan Terbuka
Generasi Z juga dikenal dengan fleksibilitasnya dalam memandang gaya hidup dan hubungan.
Mereka tidak segan-segan untuk memilih gaya hidup yang berbeda dari norma tradisional, termasuk dalam hal hubungan.
Banyak di antara mereka yang memilih untuk menjalani hubungan jangka panjang tanpa pernikahan, atau bahkan menjalani hidup mandiri tanpa pasangan.
Dengan kemajuan teknologi dan kemudahan akses informasi, Gen Z memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai pilihan hidup dan memahami bahwa ada banyak cara untuk meraih kebahagiaan.
Media sosial, podcast, dan artikel online memberikan mereka wawasan baru tentang bentuk-bentuk hubungan yang lebih modern dan terbuka, sehingga mereka tidak lagi merasa terikat pada konsep pernikahan sebagai satu-satunya jalan hidup yang benar.
Menikah sebagai Keputusan Sadar, Bukan Kewajiban
Jika dulu menikah mungkin dianggap sebagai kewajiban sosial atau norma yang harus diikuti, maka bagi Gen Z, pernikahan adalah keputusan yang harus diambil secara sadar dan matang.
Mereka menganggap bahwa menikah bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan karena tekanan keluarga atau lingkungan, tetapi lebih kepada pilihan pribadi yang harus sesuai dengan nilai dan tujuan hidup masing-masing individu.
Pola pikir ini membuat Gen Z cenderung bersikap lebih selektif dan tidak terburu-buru.
Mereka ingin memastikan bahwa ketika mereka menikah, itu adalah karena keinginan dan kesiapan diri, bukan sekadar mengikuti ekspektasi orang lain.
Generasi ini memahami bahwa pernikahan bukan sekadar upacara atau tradisi, tetapi sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen serta kerja sama yang kuat antara dua pihak.
Bagi Gen Z, menikah tidak serta-merta menjadi beban, melainkan pilihan hidup yang harus diambil dengan penuh pertimbangan.
Pandangan yang lebih fleksibel dan terbuka terhadap gaya hidup, serta pengalaman masa lalu, membuat mereka memiliki pendekatan yang berbeda terhadap pernikahan.
Mereka memilih untuk menunda atau bahkan mempertimbangkan ulang pernikahan hingga benar-benar siap secara mental, emosional, dan finansial.***