Jatengvox.com – Saat ini, tren pernikahan di kalangan generasi Z mengalami perubahan signifikan. Bukan rahasia lagi bahwa banyak dari mereka yang memandang pernikahan sebagai sesuatu yang tidak terlalu mendesak, bahkan cenderung menunda atau memilih untuk tidak menikah sama sekali.
Dalam konteks ini, pernikahan bukan lagi tujuan utama bagi sebagian besar generasi muda yang lahir antara tahun 1997 hingga awal 2010-an.
Lantas, apa alasan utama di balik sikap ini? Artikel ini akan mengupas faktor-faktor yang memengaruhi sikap Gen Z terhadap pernikahan dan bagaimana pergeseran pandangan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai kebebasan serta komitmen dalam kehidupan mereka.
Nilai Kebebasan Pribadi yang Tinggi
Generasi Z sangat menghargai kebebasan pribadi dan kesempatan untuk mengembangkan diri. Bagi mereka, pernikahan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang membatasi ruang gerak dan peluang untuk mengejar impian.
Kehidupan yang serba cepat dan terhubung secara global melalui media sosial telah membuat Gen Z terbiasa dengan berbagai pilihan yang beragam.
Mereka cenderung lebih memilih mengeksplorasi banyak hal dan mengejar ambisi pribadi sebelum memutuskan untuk terikat dalam komitmen jangka panjang seperti pernikahan.
Selain itu, lingkungan yang kompetitif membuat mereka merasa perlu fokus pada pencapaian karier dan pendidikan lebih dulu.
Dalam pandangan Gen Z, pernikahan dianggap sebagai tanggung jawab yang membutuhkan kesiapan finansial dan emosional yang matang.
Dengan berbagai beban finansial yang dihadapi, seperti tingginya biaya hidup dan utang pendidikan, prioritas mereka lebih tertuju pada stabilitas keuangan dan kesejahteraan diri.
Kekhawatiran Terhadap Komitmen dan Tanggung Jawab
Pernikahan melibatkan komitmen yang besar serta tanggung jawab yang tak mudah dijalani. Bagi Gen Z, komitmen ini sering kali dipandang sebagai tekanan atau beban tersendiri.
Banyak dari mereka yang mengakui bahwa menjalani hubungan jangka panjang membutuhkan upaya, kompromi, dan pengorbanan yang tidak sepele. Mereka cenderung mempertimbangkan berbagai hal dengan matang sebelum memasuki hubungan yang serius.
Kekhawatiran terhadap perceraian juga menjadi salah satu faktor yang membentuk persepsi negatif terhadap pernikahan. Melihat kasus perceraian yang marak terjadi di generasi sebelumnya, Gen Z merasa ragu akan keberhasilan pernikahan dalam memberikan kebahagiaan jangka panjang.
Trauma atau pengalaman buruk dari keluarga atau orang terdekat bisa memengaruhi pandangan mereka terhadap komitmen. Akibatnya, mereka lebih memilih hubungan tanpa ikatan formal atau memilih untuk hidup bersama tanpa menikah.
Pilihan Gaya Hidup yang Lebih Fleksibel
Gen Z tumbuh di era yang mendorong pilihan hidup yang lebih fleksibel dan individualistis. Mereka tidak merasa perlu terburu-buru menjalani pola hidup konvensional seperti pernikahan.
Dalam banyak kasus, hidup bersama atau “cohabitation” menjadi alternatif bagi Gen Z yang ingin tetap menjaga kedekatan emosional tanpa harus menikah.
Selain itu, dengan perkembangan teknologi dan budaya kerja fleksibel, mereka lebih memilih memanfaatkan waktu untuk mengeksplorasi minat serta hobi yang disukai.
Fleksibilitas ini memberi kebebasan untuk menentukan jalan hidup tanpa merasa terkekang oleh batasan pernikahan. Bagi mereka, kebahagiaan dapat dicapai dengan berbagai cara, tidak hanya melalui institusi pernikahan.
Fokus pada Kesehatan Mental dan Kepuasan Diri
Gen Z sangat peduli dengan kesehatan mental dan kesejahteraan diri. Mereka tidak segan untuk mengutamakan diri sendiri dan melakukan apa yang menurut mereka terbaik bagi kesehatan mental mereka.
Dalam beberapa kasus, pernikahan dipandang sebagai beban emosional yang bisa mengurangi kualitas hidup. Alih-alih menikah, mereka lebih memilih untuk fokus pada hubungan yang sehat dan tidak menimbulkan tekanan psikologis.
Pemahaman tentang kesehatan mental ini menciptakan budaya baru di mana Gen Z lebih menghargai hubungan yang berdasarkan kenyamanan dan dukungan emosional.
Mereka cenderung menghindari hubungan yang berpotensi menimbulkan stres atau depresi. Di sisi lain, pemahaman ini juga membentuk pola pikir bahwa kebahagiaan dapat ditemukan di luar pernikahan, melalui pencapaian pribadi, komunitas, atau hobi yang mereka geluti.***